
Apa arti tafakur? Tafakur dalam bahasa Arab diartikan sebagai at-ta'ammul wan-nadzru (التأمّل والنظر) yang dalam bahasa Indonesia artinya adalah merenungkan, memikirkan dan memperhatikan. Menurut Thahir bin 'Asyur, tafakur tidak sekedar perenungan dan pemikiran. Akan tetapi, tafakur adalah pengembaraan akal pikiran seseorang untuk mendapatkan pengetahuan sejati.
Tafakur memiliki manfaat yang sangat besar dalam kehidupan. Sampai-sampai Ibnu Abbas radhiyallaahu 'anhu mengatakan :
تَفَكُّرُ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ قِيَامِ لَيْلَةٍ
Tafakur sesaat lebih baik dari pada shalat semalaman.
[Al-Adzomah li Abi Syaikh no. 42]
Pada kesempatan yang lain, Ibnu Abbas juga menekankan pentingnya melaksanakan shalat yang disertai tafakur :
رَكْعَتَانِ مُقْتَصِدَتَانِ فِي تَفَكُّرٍ، خَيْرٌ مِنْ قِيَامِ لَيْلَةٍ وَالْقَلْبُ سَاهٍ
Dua rakaat sebentar yang disertai tafakur lebih baik dari pada shalat semalam suntuk namun hatinya tidak khusyuk.
Berdasarkan perkataan Ibnu Abbas di atas, kita mengetahui bahwa shalat sebentar yang disertai tafakur lebih baik dari pada shalat semalaman dalam keadaan hati yang tidak khusyuk. Hal ini menunjukkan bahwa tafakur memiliki banyak manfaat. Lantas, apa sajakah manfaat tafakur dalam kehidupan sehari-hari? Berikut ini beberapa manfaat tafakur bagi seorang muslim :
1. Semangat dalam Beramal
Tafakur dapat menumbuhkan kesemangatan dalam beramal. Sebagai contoh, tafakur terhadap kehidupan dunia dan akhirat. Jika kita bertafakur tentang dunia dan akhirat maka kita semakin memahami bahwasanya dunia adalah tempat yang sementara dan akhirat adalah tempat yang abadi. Oleh karena itu, kita tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang sebentar ini dengan bersantai-santai. Justru kita akan semangat beramal kebaikan sebanyak-banyaknya karena dunia hanya sementara. Ibnu Al-Qoyyim mengatakan :
وَهَذَا الْفِكر يُثمر لصَاحبه الْمحبَّة والمعرفة فَإِذا فكر فِي الْآخِرَة وشرفها ودوامها وَفِي الدُّنْيَا وخستها وفنائها أثمر لَهُ ذَلِك الرَّغْبَة فِي الْآخِرَة والزهد فِي الدُّنْيَا وَكلما فكّر فِي قصر الأمل وضيق الْوَقْت أورثه ذَلِك الجدّ وَالِاجْتِهَاد وبذل الوسع فِي اغتنام الْوَقْت
Tafakur dapat menumbuhkan kecintaan dan pengetahuan bagi yang melakukannya. Ketika seseorang mentafakuri akhirat yang mulia nan abadi serta memikirkan dunia yang hina dan fana maka hal itu dapat membuahkan kerinduan terhadap akhirat dan zuhud terhadap dunia. Ketika seseorang memikirkan betapa pendeknya angan-angan dan betapa sempitnya waktu maka ia akan semakin serius, semakin tekun dan mengerahkan segala upaya untuk memanfaatkan waktu.
[Al-Fawaid oleh Ibnu Qayyim hlm. 198]
Contoh lainnya adalah mentafakuri amal kebaikan. Semakin kita berafakkur tentang amal kebaikan maka kita akan semakin memahami betapa banyaknya manfaat yang kita peroleh jika kita beramal kebaikan. Dengan begitu, kita akan termotivasi untuk beramal shalih. Ibnu Abbas mengatakan :
التفكر في الخير يدعو إلى العمل به والندم على الشر يدعو إلى تركه
Mentafakuri kebaikan dapat menuntun seseorang untuk melakukannya, menyesali kejahatan dapat menuntun seseorang untuk meninggalkannya.
[Ihya’ Ulumud-Diin : 4/425]
Pernahkah kita mentafakuri untuk apa tubuh kita diciptakan? Jika kita memikirkan dan mempelajari anggota tubuh kita maka kita akan semakin memahami bahwa sesungguhnya tubuh kita itu diciptakan untuk beribadah dan beramal kebaikan. Jika tubuh tidak digunakan untuk beribadah dan beramal kebaikan maka tubuh kita akan rusak karena tidak digunakan sesuai fungsinya. Qotadah mengatakan :
من تفكر في خلق نفسه عرف أنه إنما خلق ولينت مفاصله للعبادة
Barang siapa yang mentafakuri penciptaan dirinya sendiri maka ia akan mengetahui bahwasanya sendi-sendi tulang-tulangnya diciptakan untuk beribadah.
[Tafsir Ibnu Katsir : QS. Adz-Dzariyat ayat 21]
Pada intinya, tafakur dapat menambah pengetahuan dan pemahaman seseorang. Jika pengetahuan dan pemahaman seseorang bertambah maka bertambah pula amal kebaikannya. Wahab bin Munabbih juga mengatakan :
مَا طَالَتْ فِكْرَةُ امْرِئٍ قَطُّ إِلَّا فَهِمَ، وَمَا فَهِمَ امْرُؤٌ قَطُّ إِلَّا عَلِمَ، وَمَا عَلِمَ امْرُؤٌ قَطُّ إِلَّا عَمِلَ
Semakin lama seseorang bertafakur maka akan semakin memahami, semakin seseorang memahami maka akan semakin mengetahui, semakin seseorang mengetahui maka akan semakin beramal.
[Al-‘Adzomah li Abi Syaikh no. 56]
2. Semakin Takut Kepada Allah
Tafakur dapat menumbuhkan rasa takut kita untuk bermaksiat kepada Allah. Contohnya adalah tafakur terhadap ciptaan-ciptaan Allah. Jika kita mentafakuri ciptaan Allah maka kita akan menyadari betapa besarnya keagungan Allah subhanahu wata’ala. Jika kita sadar akan keagungan-Nya maka tentulah kita tidak akan berani membangkang perintah-Nya. Basyar bin Al-Harits mengatakan :
لو تفكر الناس في عظمة الله لما عصوا الله
Seandainya seseorang mentafakuri keagungan Allah niscaya mereka tidak bermaksiat kepada Allah.
[Hilyatul Auliya’ : 8/337]
Hatim Al-Ashomm mengatakan :
مِنَ الْعِبْرَةِ يَزِيدُ الْعِلْمُ وَمِنَ الذكر يَزِيدُ الْحُبُّ وَمِنَ التَّفَكُّرِ يَزِيدُ الْخَوْفُ
Dari belajar maka ilmu bertambah, dari dzikir (mengingat Allah) maka kecintaan (kepada Allah) bertambah, dan dari tafakur maka rasa takut (kepada Allah) bertambah.
[Ihya’ Ulumud-Din : 4/425]
3. Semakin Cinta Kepada Allah
Tafakur dapat menumbuhkan kecintaan kepada Allah. Sesungguhnya jiwa kita itu diciptakan untuk mencintai siapapun yang berbuat baik kepada kita. Jika kita senantiasa mentafakuri banyaknya nikmat yang Allah berikan kepada kita maka kita akan semakin cinta dan ridha kepada Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, perbanyaklah mentafakuri nikmat-nikmat dari-Nya karena hal itu akan menambah kecintaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala.
4. Menambah Keimanan
Tafakur terhadap ayat-ayat dan ciptaan Allah dapat menambah keimanan. Dengan bertafakur, hati kita akan menyadari hikmah-hikmah tersembunyi di balik kekuasaan dan keagungan-Nya, serta rahmat-Nya yang ada pada ayat-ayatNya. Khalifah Al-‘Abdi mengatakan :
لَو أَن الله تبارك وتعالى لم يعبد إِلَّا عَن رُؤْيَة مَا عَبده أحد وَلَكِن الْمُؤمنِينَ تَفَكَّرُوا فِي مَجِيء هَذَا اللَّيْل إِذا جَاءَ فَمَلَأ كل شَيْء وغطى كل شَيْء وَفِي مَجِيء سُلْطَان النَّهَار إِذا جَاءَ فمحا سُلْطَان اللَّيْل وَفِي السَّحَاب المسخر بَين السَّمَاء وَالْأَرْض وَفِي النُّجُوم وَفِي الشتَاء والصيف فوَاللَّه مَا زَالَ الْمُؤْمِنُونَ يتفكرون فِيمَا خلق رَبهم تبارك وتعالى حَتَّى أيقنت قُلُوبهم برَبهمْ عز وجل وكأنما عبدُوا الله عَن رُؤْيَة
Seandainya menyembah Allah harus dengan melihat-Nya maka tidak akan ada seorangpun yang menyembah-Nya. Akan tetapi, orang-orang beriman mentafakuri fenomena alam, seperti datangnya malam yang gelapnya menutupi segala sesuatu, datangnya siang yang menghapus gelapnya malam, awan-awan yang berjalan di antara langit dan bumi, bintang-bintang, serta musim dingin dan musim panas. Demi Allah, orang-orang mukmin senantiasa mentafakuri cipataan Tuhan mereka sehingga hati mereka semakin yakin terhadap-Nya dan seolah-olah mereka menyembah Allah karena (pernah) melihat-Nya.
[Ad-Dur Al-Mantsur fit-Tafsir bil-Ma’tsur : 4/343]
5. Mengenal Diri Sendiri
Tafakur dapat membuat seseorang semakin mengenali dirinya. Jika kita mentafakuri diri kita maka kita akan semakin mengetahui di mana letak kekurangan dan kelebihan kita. Al-Fudhail mengatakan :
التَّفَكُّرُ مِرْآةٌ تُرِيكَ حَسَنَاتِكَ وَسَيِّئَاتِكَ
Tafakur adalah cermin yang memperlihatkan kebaikan dan keburukanmu
[Al-‘Adzomah li Abi Syaikh no. 13]
Semakin kita mengetahui kondisi diri kita maka kita akan berusaha memperbaiki kekurangan dan meningkatkan kelebihan yang ada pada diri kita. Sufyan bin Uyainah mengatakan :
الفكرة نور تدخله قلبك
Tafakur adalah cahaya yang masuk ke dalam hatimu
إذا المرء كانت له فكرة … ففي كل شيء له عبرة
Ketika seseorang senantiasa bertafakur maka ia akan mendapatkan pelajaran dalam setiap hal.
التفكر مفتاح الرحمة، ألا ترى أنه يتفكر فيتوب؟
“Tafakur adalah kunci menuju rahmat. Tidakkah kamu melihat seorang yang bertafakur lalu bertaubat?”
[Hilyatul Auliya’ : 7/306]
Secara khusus, manfaat dari tafakur adalah bertambanya ilmu. Ketika ilmu sudah ada di dalam hati maka hati menjadi takut kepada Allah. Ketika ilmu sudah ada di dalam hati maka hati akan merasa kurang dalam menunaikan hak Allah. Ketika ilmu sudah ada di dalam hati maka hati akan termotivasi untuk lebih tekun dan bersungguh-sungguh.
Ketika kondisi hati berubah maka berubah pula perilaku. Jika perilaku berubah maka akan menjadi lebih baik, derajatnya terangkat, dan kondisinya pun membaik. Mughits bin Asma’ berkata :
كَانَ رجل مِمَّن كَانَ قبلكُمْ يعْمل بِالْمَعَاصِي فَبَيْنَمَا هُوَ ذَات يَوْم يسير إِذْ تفكر فِيمَا سلف مِنْهُ فَقَالَ: اللَّهُمَّ غفرانك فادركه الْمَوْت على تِلْكَ الْحَال فغفر لَهُ
Dahulu ada seorang lelaki sebelum kalian yang gemar bermaksiat. Suatu hari ia mentafakuri perbuatannya di masa lalu dan berkata : “Ya Allah ampunilah aku.” Lalu, ia pun wafat dalam kondisi seperti itu maka Allah pun mengampuninya.
[Ad-Dur Al-Mantsur fit-Tafsir bil-Ma’tsur : 4/58]
6. Memajukan Umat Islam
Tafakur dapat memajukan perabadan umat Islam. Jika kita ingin memperbaiki kondisi umat Islam maka kita wajib mentafakuri situasi umat saat ini. Dengan tafakur, kita mencoba untuk menganalisis kekeliruan yang terjadi serta membandingkannya dengan kondisi orang-orang shalih terdahulu sehingga kita bisa mengetahui mengapa mereka mampu menguasai penjuru dunia sementara kita masih berusaha melepaskan diri dari jeratan yang menguasai kita.
Orang-orang shalih terdahulu adalah para pembaharu yang pernah ada di tengah-tengah umat Islam. Tentu saja hal pertama yang mereka lakukan adalah mengamati kondisi umat. Apa saja kekurangannya? Di mana letak kekeliruannya? Di mana celahnya? Kemudian barulah mereka menyingsingkan lengan bajunya dan berusaha keras mencari cara untuk menggapai kekuatan dan memperbaiki kondisi umat Islam serta menutupi kesenjangan dari kebodohan, kesyirikan, dan kemaksiatan.
7. Bertambahnya Ilmu dan Pengetahuan
Tafakur adalah sebab Allah memberikan ilmu pengetahuan dan hikmah. Salah satu contoh seorang yang diberikan ilmu dan hikmah adalah Luqman Al-Hakim yang disebutkan dalam surat Luqman ayat 12 :
وَلَقَدۡ ءَاتَيۡنَا لُقۡمَٰنَ ٱلۡحِكۡمَةَ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِلَّهِۚ وَمَن يَشۡكُرۡ فَإِنَّمَا يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٞ ١٢
Sungguh, Kami benar-benar telah memberikan hikmah kepada Luqman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah! Siapa yang bersyukur, sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri. Siapa yang kufur (tidak bersyukur), sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.”
[QS. Luqman ayat 12]
Abu Darda’ pernah berkata tentang Luqman Al-Hakim sang pemilik ilmu hikmah :
ما أوتي ما أوتي عن أهل ولا مال، ولا حسب ولا خصال، ولكنه كان رجلا صَمْصَامة سكيتا، طويل التفكر، عميق النظر، لم ينم نهارًا قط، ولم يره أحد قط يبزق ولا يتنخَّع، ولا يبول ولا يتغوط، ولا يغتسل، ولا يعبث ولا يضحك، وكان لا يعيد منطقًا نطقه إلا أن يقول حكمة يستعيدها إياه أحد، وكان قد تزوج وولد له أولاد، فماتوا فلم يبك عليهم. وكان يغشى السلطان، ويأتي الحكام، لينظر ويتفكر ويعتبر، فبذلك أوتي ما أوتي
Tidaklah ia memperoleh sesuatu yang diperoleh (ilmu hikmah) karena keluarganya, kekayaannya, kedudukannya, maupun jasanya. Akan tetapi ia adalah orang yang sangat pendiam, suka bertafakur, dan sangat tajam pandangannya. Dia tidak pernah tidur di siang hari, dan belum pernah ada seseorang pun yang melihatnya meludah, mengeluarkan ingus, kencing, buang air besar dan mandi. Ia juga tidak pernah bercanda dan tertawa. Dia tidak pernah mengulangi perkataan yang telah diucapkannya, melainkan hanya kata-kata bijak yang diminta oleh seseorang agar ia mengulanginya. Dia pernah menikah dan mempunyai banyak anak, tetapi mereka semua meninggal dunia dan dia tidak menangisi kematian mereka (bersabar). Ia sering kali mengunjungi para penguasa dan mendatangi para hakim untuk melihat, berpikir, dan mengambil pelajaran. Itulah sebabnya ia berhasil memperoleh apa yang ia peroleh.
[Tafsir Ibnu Katsir : QS. Luqman ayat 12]
Seorang yang banyak bicara dan sedikit tafakur maka tidak akan bisa mengeluarkan kalimat-kalimat hikmah yang berbobot dan berkualitas. Sebaliknya, seorang yang sedikit bicara dan banyak tafakur maka kalimat-kalimat yang mengalir dari lisannya dipenuhi dengan ilmu dan hikmah. Imam Syafi’i mengatakan :
اسْتَعِينُوا عَلَى الكلام بالصمت وعلى الاستنباط بالفكر
Diamlah agar bisa berucap (yang berbobot dan berkualitas), bertafakurlah agar bisa menyingkap hukum.
[Ihya’ Ulumud-Din : 4/425]
Ia juga berkata :
الفضائل أربع إحداها الحكمة وقوامها الفكرة والثانية العفة وقوامها في الشهوة والثالثة القوة وقوامها في الغضب والرابعة العدل وقوامه في اعتدال قوى النفس
Keutamaan itu ada empat, yang pertama adalah hikmah yang dilandasi dengan tafakur, yang kedua adalah iffah yang dilandasi dengan mengalahkan syahwat, yang ketiga adalah kekuatan yang dilandasi dengan mengalahkan kemarahan, dan yang keempat adalah adil yang dilandasi dengan pengendalian kekuatan jiwa.
[Ihya’ Ulumud-Din : 4/425]
Jika kita memperhatikan karya-karya para ulama, maka tentulah kita akan heran dan terkagum. Bagaimana bisa mereka berhasil menghasilkan karya yang melimpah ini? Bagaimana bisa mereka menyusun kitab-kitab tersebut? Bagaimana bisa mereka bisa membuat kesimpulan hukum fiqih ataupun tafsir melalui proses yang begitu pelik? Tentu saja, jawabannya adalah karena mereka senantiasa bertafakur terhadap ayat-ayat Allah dan mengaitkannya dengan realita yang terjadi.
Dengan bertafakur, para ulama mampu memecahkan masalah yang sulit dipecahkan. Dikisahkan dalam sebuah riwayat :
وسئل أبو حنيفة عن أخوين تزوجا أختين فزفت كل واحدة منهما إلى زوج أختها ولم يعلموا حتى أصبحوا فذُكر ذلك لأبي حنيفة وطلبوا الحيلة فيه، فقال أبو حنيفة ليطلق كل واحد من الأخوين امرأته تطليقة ثم يتزوج كل واحد منهما المرأة التي دخل بها مكانها
Abu Hanifah pernah ditanya tentang dua orang bersaudara yang menikahi dua orang perempuan bersaudari yang secara tidak sengaja salah satu di antara dua perempuan bersaudari tersebut digauli oleh suami saudarinya, dan mereka baru menyadarinya pada pagi hari. Kemudian, hal itu disampaikan kepada Abu Hanifah, dan mereka mencari pemecahan masalahnya. Abu Hanifah berkata, “Hendaklah masing-masing dari dua bersaudara itu menceraikan istrinya satu kali, kemudian masing-masing dari mereka menikahi wanita yang telah digaulinya sebagai pengganti wanita tersebut.”
[Al-Makharij fil-Hail hlm. 51]
Dengan tafakur, para ulama mampu menggabungkan dalil-dalil yang nampaknya saling bertentangan. Contohnya seperti firman Allah subhanahu wata’ala :
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۗ
Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
[QS. Al-Isra’ ayat 15]
Dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :
إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ
Sesungguhnya mayit itu disiksa sebab tangisan keluarganya kepadanya.
[HR. Muslim no. 927]
Dua dalil di atas tampak saling bertentangan satu sama lain. Ayat Al-Qur’an menunjukkan bahwa seseorang tidaklah menanggung dosa orang lain, sedangkan hadits menunjukkan bahwa orang yang sudah meninggal akan tersiksa karena dosa keluarganya, ratapan mereka, dan kesedihan mereka.
Sebagai orang awam, tentu kita akan kebingungan jika menghadapi masalah ini. Namun, lain halnya para ulama dengan ketajaman pikiran dan analisisnya. Para ulama akan bertafakur untuk menemukan solusi dari masalah ini. Setelah melalui tafakur yang mendalam maka para ulama pun menyimpulkan : “Sesungguhnya orang yang mati itu baru mendapat siksa jika ia memerintahkan keluarganya setelah ia meninggal untuk menangisinya, maka ia dihukum atas apa yang diperintahkan kepadanya.”