Penjelasan Iman Kepada Allah Beserta Dalilnya dalam Al-Quran dan As-Sunnah

Iman Kepada Allah

Iman kepada Allah adalah rukun Iman yang pertama. Iman kepada Allah adalah pekara yang paling penting dan paling pokok dalam akidah Islam. Bahkan, segala sesuatu di dalam Islam dibangun di atas iman kepada Allah. Oleh karena itu, wajib bagi seorang muslim untuk mempelajari apa arti dari iman kepada Allah berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.

Pada artikel kali ini, kita akan mempelajari bersama tentang pengertian iman kepada Allah beserta penjelasan dan dalilnya dalam Al-Quran maupun As-Sunnah. Dengan mempelajari hakikat iman kepada Allah maka diharapkan kita dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR ISI

Apa yang dimaksud dengan iman kepada Allah?

Pengertian Iman Kepada Allah : Iman kepada Allah artinya adalah meyakini akan keberadaan Allah subhanahu wata’ala, meyakini bahwa Dia adalah Tuhan seluruh alam, meyakini bahwa hanya Dia semata yang berhak disembah, dan meyakini nama-nama dan sifat-sifat Allah yang sempurna dan suci dari segala sifat kekurangan.

Berdasarkan pengertian di atas, iman kepada Allah mencakup empat perkara yaitu :

  • Iman terhadap keberadaan-Nya
  • Iman terhadap ketuhanan-Nya
  • Iman terhadap keilahian-Nya
  • Iman terhadap nama-nama dan sifat-sifat-Nya

Berikut ini penjelasan rinci tentang pengertian dan cakupan iman kepada Allah beserta dalilnya :

A. Iman Terhadap Keberadaan Allah

Iman terhadap keberadaan Allah berarti meyakini bahwa Allah itu ada. Allah bukanlah konsep ketuhanan yang ada dalam pikiran manusia. Allah juga bukan hasil buah pemikiran manusia tentang konsep Tuhan. Justru, zat Allah itu benar-benar ada. Maka dari itu, meyakini keberadaan-Nya merupakan kebenaran yang hakiki, meragukan keberadaan-Nya merupakan kedustaan dan kemungkaran, mengingkari keberadaan-Nya merupakan kesombongan, kezaliman dan juga kekafiran.

Keberadaan Allah ditunjukkan oleh beberapa hal, yaitu :

1. Fitrah yang Lurus

Setiap manusia yang dilahirkan pasti akan mendapati di dalam jiwanya keyakinan tentang keberadaan Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠

Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.


[QS. Ar-Rum ayat 30]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Tidaklah dari seorang anak yang dilahirkan kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.


[HR. Bukhari no. 1358]

Fitrah keyakinan akan keberadaan Allah tidak bisa dipungkiri. Seaindainya fitrah tersebut dirusak dan dikotori dengan syahwat dan syubhat maka ia akan muncul kembali ketika menghadapi situasi genting. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

فَإِذَا رَكِبُواْ فِي ٱلۡفُلۡكِ دَعَوُاْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ فَلَمَّا نَجَّىٰهُمۡ إِلَى ٱلۡبَرِّ إِذَا هُمۡ يُشۡرِكُونَ ٦٥

Apabila naik ke dalam bahtera, mereka berdoa kepada Allah dengan penuh rasa pengabdian (ikhlas) kepada-Nya. Akan tetapi, ketika Dia (Allah) menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).


[QS. Al-Ankabut ayat 65]

2. Akal yang Sehat

Akal yang sehat meyakini bahwa semua makhluk pasti ada penciptanya. Tidak mungkin alam semesta yang penuh dengan keteraturan, keindahan, keserasian, dan keseimbangan ada dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakannya. Tidak mungkin pula makhluk itu menciptakan diri mereka sendiri tanpa ada sang pencipta. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

أَمۡ خُلِقُواْ مِنۡ غَيۡرِ شَيۡءٍ أَمۡ هُمُ ٱلۡخَٰلِقُونَ ٣٥ أَمۡ خَلَقُواْ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَۚ بَل لَّا يُوقِنُونَ ٣٦ أَمۡ عِندَهُمۡ خَزَآئِنُ رَبِّكَ أَمۡ هُمُ ٱلۡمُصَۜيۡطِرُونَ ٣٧

Apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka menciptakan (diri mereka sendiri)? Apakah mereka menciptakan langit dan bumi? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Apakah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu ataukah mereka yang berkuasa?


[QS. Ath-Thur ayat 35-37]

3. Peristiwa yang Nyata

Keberadaan Allah dibuktikan dengan peristiwa-peristiwa nyata yang dapat disaksikan. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

سَنُرِيهِمۡ ءَايَٰتِنَا فِي ٱلۡأٓفَاقِ وَفِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّۗ أَوَلَمۡ يَكۡفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُۥ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ شَهِيدٌ ٥٣

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa (Al-Qur’an) itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?


[QS. Fushilat ayat 53]

Peristiwa-peristiwa nyata yang menjadi tanda-tanda keberadaan Allah dapat dilihat dari dua sisi :

  • Dikabulkannya doa
  • Mukjizat para Nabi dan Rasul

Dikabulkannya doa adalah salah satu peristiwa nyata yang sering kita dengar dan sering kita saksikan. Bahkan, tak jarang kita mengalami peristiwa tersebut dalam kehidupan kita. Peristiwa tersebut tentu bukanlah peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Betapa banyak doa para Nabi dan Rasul serta orang-orang shalih yang terwujud. Peristiwa ini menunjukkan kepastian keberadaan Allah subhanahu wata’ala selaku Zat yang Maha Mengabulkan Doa. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

أَمَّن يُجِيبُ ٱلۡمُضۡطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكۡشِفُ ٱلسُّوٓءَ وَيَجۡعَلُكُمۡ خُلَفَآءَ ٱلۡأَرۡضِۗ أَءِلَٰهٞ مَّعَ ٱللَّهِۚ قَلِيلٗا مَّا تَذَكَّرُونَ ٦٢

Apakah (yang kamu sekutukan itu lebih baik ataukah) Zat yang mengabulkan (doa) orang yang berada dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, menghilangkan kesusahan, dan menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah (pemimpin) di bumi? Apakah ada tuhan (lain) bersama Allah? Sedikit sekali (nikmat Allah) yang kamu ingat.


[QS. An-Naml ayat 62]

Demikian pula mukjizat para Nabi dan Rasul juga merupakan petunjuk akan keberadaan Allah subhanahu wata’ala. Mustahil bagi manusia biasa mampu mewujudkan mukjizat tersebut tanpa izin dari Allah subhanahu wata’ala. Salah satunya adalah mukjizat Nabi Isa ‘alaihissalam :

إِذۡ قَالَ ٱللَّهُ يَٰعِيسَى ٱبۡنَ مَرۡيَمَ ٱذۡكُرۡ نِعۡمَتِي عَلَيۡكَ وَعَلَىٰ وَٰلِدَتِكَ إِذۡ أَيَّدتُّكَ بِرُوحِ ٱلۡقُدُسِ تُكَلِّمُ ٱلنَّاسَ فِي ٱلۡمَهۡدِ وَكَهۡلٗاۖ وَإِذۡ عَلَّمۡتُكَ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَٱلتَّوۡرَىٰةَ وَٱلۡإِنجِيلَۖ وَإِذۡ تَخۡلُقُ مِنَ ٱلطِّينِ كَهَيۡـَٔةِ ٱلطَّيۡرِ بِإِذۡنِي فَتَنفُخُ فِيهَا فَتَكُونُ طَيۡرَۢا بِإِذۡنِيۖ وَتُبۡرِئُ ٱلۡأَكۡمَهَ وَٱلۡأَبۡرَصَ بِإِذۡنِيۖ وَإِذۡ تُخۡرِجُ ٱلۡمَوۡتَىٰ بِإِذۡنِيۖ وَإِذۡ كَفَفۡتُ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ عَنكَ إِذۡ جِئۡتَهُم بِٱلۡبَيِّنَٰتِ فَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡهُمۡ إِنۡ هَٰذَآ إِلَّا سِحۡرٞ مُّبِينٞ ١١٠

(Ingatlah) ketika Allah berfirman, “Wahai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu dengan Ruhulkudus. Engkau dapat berbicara dengan manusia pada waktu masih dalam buaian dan setelah dewasa. (Ingatlah) ketika Aku mengajarkan menulis kepadamu, (juga) hikmah, Taurat, dan Injil. (Ingatlah) ketika engkau membentuk dari tanah (sesuatu) seperti bentuk burung dengan seizin-Ku, kemudian engkau meniupnya, lalu menjadi seekor burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. (Ingatlah) ketika engkau menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit kusta dengan seizin-Ku. (Ingatlah) ketika engkau mengeluarkan orang mati (dari kubur menjadi hidup) dengan seizin-Ku. (Ingatlah) ketika Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuhmu) pada waktu engkau mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir di antara mereka berkata, “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.”


[QS. Al-Maidah ayat 110]

4. Petunjuk Agama Samawi

Seluruh kitab agama samawi menunjukkan akan keberadaan Allah subhanahu wata’ala. Seandainya kitab tersebut tidak berasal dari sang Pencipta maka tidak mungkin informasi tentang alam semesta yang disampaikan dalam kitab tersebut terbukti kebenarannya. Selain itu, hukum-hukum yang terkandung dalam kitab tersebut juga penuh dengan keadilan dan kemaslahatan. Tidak mungkin hukum-hukum tersebut jika tidak berasal dari Tuhan yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui yang terbaik bagi makhluk-Nya.

Di antara salah satu kitab Allah yang terjaga keotentikannya hingga saat ini adalah Al-Quran. Al-Quran adalah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya. Seandainya Al-Quran bukan dari Allah maka tentulah akan terjadi banyak pertentangan di dalamnya. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَۚ وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ ٱخۡتِلَٰفٗا كَثِيرٗا ٨٢

Tidakkah mereka menadaburi Al-Qur’an? Seandainya (Al-Qur’an) itu tidak datang dari sisi Allah, tentulah mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya.


[QS. An-Nisa’ ayat 82]

B. Iman Terhadap Ketuhanan Allah

Iman terhadap ketuhanan Allah adalah meyakini bahwa Allah itu adalah satu-satunya Tuhan semesta alam dan tidak ada yang menyekutui ketuhanan-Nya. Tuhan semesta alam artinya adalah yang menciptakan, yang merajai, dan yang mengatur semesta alam.

Keimanan terhadap ketuhanan Allah adalah keimanan yang telah terpatri di dalam fitrah manusia. Akal yang sehat pasti beriman terhadap ketuhanan Allah. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam semesta juga menunjukkan kebenaran ketuhanan Allah. Al-Quran pun juga sudah menyampaikan tentang ketuhanan Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ وَٱلۡفُلۡكِ ٱلَّتِي تَجۡرِي فِي ٱلۡبَحۡرِ بِمَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ وَمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مِن مَّآءٖ فَأَحۡيَا بِهِ ٱلۡأَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَآبَّةٖ وَتَصۡرِيفِ ٱلرِّيَٰحِ وَٱلسَّحَابِ ٱلۡمُسَخَّرِ بَيۡنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَعۡقِلُونَ ١٦٤

Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi setelah mati (kering), dan Dia menebarkan di dalamnya semua jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengerti.


[QS. Al-Baqarah ayat 164]

Secara umum, manusia mengakui ketuhanan Allah subhanahu wata’ala. Bahkan orang-orang musyrik pun mengakui ketuhanan Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

وَلَئِن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ لَيَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡعَلِيمُ ٩

Jika kamu menanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi,” pastilah mereka akan menjawab, “Yang menciptakannya adalah Zat Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.


[QS. Az-Zukhruf ayat 9]

Dalam ayat yang lain juga disebutkan :

وَلَئِن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَهُمۡ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُۖ فَأَنَّىٰ يُؤۡفَكُونَ ٨٧

Jika engkau bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab, “Allah.” Maka, mengapa mereka bisa dipalingkan?

Intisari ketuhanan Allah subhanahu wata’ala meliputi tiga hal utama, yaitu :

  • Penciptaan
  • Kerajaan
  • Perintah

Berikut ini penjelasan ketiga hal tersebut :

1. Penciptaan

Allah subhanahu wata’ala adalah pencipta segala sesuatu. Maka dari itu, segala sesuatu selain Allah adalah ciptaan-Nya atau makhluk-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

ٱللَّهُ خَٰلِقُ كُلِّ شَيۡءٖۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ وَكِيلٞ ٦٢

Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu.


[QS. Az-Zumar ayat 62]

Allah adalah sang pencipta satu-satunya. Perbuatan menciptakan yang Dia lakukan bersifat absolut. Dialah satu-satunya yang menciptakan segala sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Tidak ada sekutu atau pembantu yang membantu-Nya dalam menciptakan segala sesuatu.

Adapun perbuatan menciptakan yang dilakukan oleh makhluk adalah perbuatan menciptakan yang bersifat relatif. Makhluk hanya mampu membentuk dan menyusun sesuatu yang sudah ada sehingga menjadi sesuatu yang baru. Makhluk tidak mampu mengadakan sesuatu yang berasal dari ketiadaan.

2. Kerajaan

Allah subhanahu wata’ala adalah raja, pemiliki, dan penguasa segala sesuatu. Maka dari itu, segala sesuatu selain Allah adalah hamba-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

وَلِلَّهِ مُلۡكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ ١٨٩

Milik Allahlah kerajaan langit dan bumi. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.


[QS. Ali Imran ayat 189]

Kerajaan dan kepemilikan Allah subhanahu wata’ala bersifat absolut, mutlak, dan sempurna. Allah adalah satu-satunya yang merajai dan memiliki seluruh alam semesta tanpa terkecuali. Tidak ada yang menyekutui kerajaan-Nya atau menyamai kerajaan Allah subhanahu wata’ala.

Adapun kerajaan atau kepemilikan makhluk bersifat relatif, sementara, dan parsial. Kepemilikan makhluk tidak mencakup segala sesuatu dan tidak kekal. Adakalanya ia memiliki dan adakalanya dimiliki oleh makhluk yang lainnya. Adakalanya sesuatu yang dimiliki berpindah kepemilikannya kepada makhluk yang lainnya.

3. Perintah

Allah subhanahu wata’ala adalah yang memerintah, mengutus, dan mengatur segala sesuatu. Maka dari itu, segala sesuatu selain Allah adalah yang diperintah. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

قُلۡ إِنَّ ٱلۡأَمۡرَ كُلَّهُۥ لِلَّهِۗ

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya segala urusan itu di tangan Allah.”


[QS. Ali Imran ayat 154]

Perintah Allah meliputi dua hal, yaitu :

  • Perintah kauni
  • Perintah syar’i

Perintah kauni adalah perintah terhadap keadaan alam semesta baik gerakan-gerakannya, bentuk-bentuknya maupun sifat-sifatnya, seperti mengatur arah terbit dan terbenamnya matahari, mengatur siang dan malam, mengatur sifat-sifat benda ataupun partikel penyusunnya, mengatur proses pembentukan manusia di dalam rahim, mengatur turunnya hujan, mengatur rezeki dan ajal makhluk-Nya, menumbuhkan tanaman, dan lain sebagainya.

Perintah kauni bersifat memaksa, pasti terjadi, berbanding lurus dengan kehendak-Nya dan tidak ada kaitannya dengan kecintaan dan keridhaan-Nya. Jika Allah menghendakinya maka apa yang dikehendaki oleh-Nya pasti terjadi. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيۡـًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ ٨٢

Sesungguhnya ketetapan-Nya, jika Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka, jadilah (sesuatu) itu.


[QS. Yasin ayat 82]

Perintah syar’i adalah pengaturan terhadap hukum-hukum atau aturan-aturan yang dibebankan kepada makhluk untuk dijalankan. Perintah syar’i tidak bersifat memaksa, tidak pasti terjadi, dan berbanding lurus dengan kecintaan dan keridhaan-Nya.

Perintah syar’i merupakan area ujian karena siapapun bisa memilih untuk menjalankan atau meninggalkan perintah tersebut. Hanya saja ada konsekuensi dibalik pilihan tersebut, yaitu apabila seseorang mengerjakannya maka Allah cinta dan ridha terhadapnya, namun apabila meninggalkannya maka Allah murka terhadapnya.

C. Iman Terhadap Keilahian Allah

Iman terhadap keilahian Allah adalah meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya sesembahan yang berhak untuk disembah dan meyakini bahwa sesembahan-sesembahan selain Allah adalah batil dan tidak layak untuk disembah. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ وَأُوْلُواْ ٱلۡعِلۡمِ قَآئِمَۢا بِٱلۡقِسۡطِۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ ١٨

Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia, (Allah) yang menegakkan keadilan. (Demikian pula) para malaikat dan orang berilmu. Tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.


[QS. Ali Imran ayat 18]

1. Hakikat Ibadah

Hakikat menyembah (ibadah) adalah kecintaan yang sempurna yang disertai dengan kerendahan diri, ketundukan, dan pengagungan yang sempurna terhadap sesembahan yang disembah. Ibadah tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah subhanahu wata’ala semata. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

وَإِلَٰهُكُمۡ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحۡمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ ١٦٣

Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada tuhan selain Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.


[QS. A-Baqarah ayat 163]

Allah subhanahu wata’ala menciptakan seluruh makhluk, jin dan manusia adalah agar mereka beribadah hanya kepada Allah, padahal Allah tidak membutuhkan mereka semua. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦ مَآ أُرِيدُ مِنۡهُم مِّن رِّزۡقٖ وَمَآ أُرِيدُ أَن يُطۡعِمُونِ ٥٧

Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku.


[QS. Adz-Dzariyat ayat 56-57]

Allah subhanahu wata’ala juga mengutus para rasul-Nya untuk merealisasikan keimanan ini dengan mengajak mereka agar menyembah (beribadah) hanya kepada Allah semata dan meninggalkan kesyirikan. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِي كُلِّ أُمَّةٖ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَۖ فَمِنۡهُم مَّنۡ هَدَى ٱللَّهُ وَمِنۡهُم مَّنۡ حَقَّتۡ عَلَيۡهِ ٱلضَّلَٰلَةُۚ فَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱنظُرُواْ كَيۡفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلۡمُكَذِّبِينَ ٣٦

Sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah dan jauhilah tagut!” Di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang ditetapkan dalam kesesatan. Maka, berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul).


[QS. An-Nahl ayat 36]

2. Keterkaitan Iman Terhadap Ketuhanan Allah dengan Iman Terhadap Keilahian-Nya

Iman terhadap keilahian Allah adalah konsekuensi dari keimanan terhadap ketuhanan Allah subhanahu wata’ala. Barang siapa yang mengakui bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakan, merajai, dan mengatur semesta alam maka seharusnya ia beriman terhadap keilahian Allah. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ٢١ ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ فِرَٰشٗا وَٱلسَّمَآءَ بِنَآءٗ وَأَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ فَأَخۡرَجَ بِهِۦ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ رِزۡقٗا لَّكُمۡۖ فَلَا تَجۡعَلُواْ لِلَّهِ أَندَادٗا وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٢٢

Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Dialah) yang menjadikan bagimu bumi (sebagai) hamparan dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untuk kamu. Oleh karena itu, janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.


[QS. Al-Baqarah ayat 21-22]

Beriman terhadap ketuhanan Allah tanpa beriman terhadap keilahian Allah adalah kekafiran. Orang-orang musyrik dan kafir terdahulu mengakui ketuhanan Allah tetapi mereka tidak beriman terhadap keilahian Allah. Mereka malah menyembah sesembahan selain Allah. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

قُلۡ مَن يَرۡزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ أَمَّن يَمۡلِكُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَمَن يُخۡرِجُ ٱلۡحَيَّ مِنَ ٱلۡمَيِّتِ وَيُخۡرِجُ ٱلۡمَيِّتَ مِنَ ٱلۡحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَۚ فَسَيَقُولُونَ ٱللَّهُۚ فَقُلۡ أَفَلَا تَتَّقُونَ ٣١ فَذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمُ ٱلۡحَقُّۖ فَمَاذَا بَعۡدَ ٱلۡحَقِّ إِلَّا ٱلضَّلَٰلُۖ فَأَنَّىٰ تُصۡرَفُونَ ٣٢

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Siapakah yang menganugerahkan rezeki kepadamu dari langit dan bumi, siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, serta siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka, mereka akan menjawab, “Allah.” Maka, katakanlah, “Apakah kamu tidak takut (akan azab Allah)?” Maka, itulah Allah, Tuhan kamu yang sebenarnya. Tidak ada setelah kebenaran itu kecuali kesesatan. Maka, bagaimana kamu dipalingkan (dari kebenaran)?


[QS. Yunus ayat 31-32]

3. Mengingkari Sesembahan Selain Allah

Adapun sesembahan-sesembahan selain Allah berupa patung dan berhala adalah sesembahan yang batil, tidak layak untuk disembah. Bahkan, disebut Tuhan pun tidaklah layak karena mereka tidak dapat menciptakan suatu apapun bahkan mereka diciptakan. Maka dari itu, menyembah sesembahan selain Allah adalah kesyirikan (mempersekutukan Allah). Allah subhanahu wata’ala berfirman :

أَيُشۡرِكُونَ مَا لَا يَخۡلُقُ شَيۡـٔٗا وَهُمۡ يُخۡلَقُونَ ١٩١ وَلَا يَسۡتَطِيعُونَ لَهُمۡ نَصۡرٗا وَلَآ أَنفُسَهُمۡ يَنصُرُونَ ١٩٢ وَإِن تَدۡعُوهُمۡ إِلَى ٱلۡهُدَىٰ لَا يَتَّبِعُوكُمۡۚ سَوَآءٌ عَلَيۡكُمۡ أَدَعَوۡتُمُوهُمۡ أَمۡ أَنتُمۡ صَٰمِتُونَ ١٩٣ إِنَّ ٱلَّذِينَ تَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ عِبَادٌ أَمۡثَالُكُمۡۖ فَٱدۡعُوهُمۡ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لَكُمۡ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ ١٩٤ أَلَهُمۡ أَرۡجُلٞ يَمۡشُونَ بِهَآۖ أَمۡ لَهُمۡ أَيۡدٖ يَبۡطِشُونَ بِهَآۖ أَمۡ لَهُمۡ أَعۡيُنٞ يُبۡصِرُونَ بِهَآۖ أَمۡ لَهُمۡ ءَاذَانٞ يَسۡمَعُونَ بِهَاۗ قُلِ ٱدۡعُواْ شُرَكَآءَكُمۡ ثُمَّ كِيدُونِ فَلَا تُنظِرُونِ ١٩٥ إِنَّ وَلِـِّۧيَ ٱللَّهُ ٱلَّذِي نَزَّلَ ٱلۡكِتَٰبَۖ وَهُوَ يَتَوَلَّى ٱلصَّٰلِحِينَ ١٩٦ وَٱلَّذِينَ تَدۡعُونَ مِن دُونِهِۦ لَا يَسۡتَطِيعُونَ نَصۡرَكُمۡ وَلَآ أَنفُسَهُمۡ يَنصُرُونَ ١٩٧ وَإِن تَدۡعُوهُمۡ إِلَى ٱلۡهُدَىٰ لَا يَسۡمَعُواْۖ وَتَرَىٰهُمۡ يَنظُرُونَ إِلَيۡكَ وَهُمۡ لَا يُبۡصِرُونَ ١٩٨

Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) sesuatu (berhala) yang tidak dapat menciptakan sesuatu apa pun, padahal ia (berhala) sendiri diciptakan? (Berhala) itu tidak dapat memberikan pertolongan kepada mereka (para penyembahnya) dan (bahkan) kepada dirinya sendiri pun ia tidak dapat memberi pertolongan. Jika kamu (orang-orang musyrik) menyeru mereka (berhala-berhala itu) untuk memberi petunjuk kepadamu, mereka tidak akan memenuhi seruanmu. Sama saja (hasilnya) buatmu, apakah kamu menyeru mereka atau berdiam diri. Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu seru selain Allah adalah makhluk (yang lemah) seperti kamu. Maka, serulah mereka, lalu biarlah mereka memenuhi seruanmu, jika kamu orang yang benar. Apakah mereka (berhala) mempunyai kaki untuk berjalan, mempunyai tangan untuk memegang dengan keras, mempunyai mata untuk melihat, atau mempunyai telinga untuk mendengar? Katakanlah (Nabi Muhammad), “Panggillah (berhala-berhalamu) yang kamu anggap sekutu Allah, kemudian lakukanlah tipu daya (untuk mencelakakan)-ku dan jangan kamu tunda lagi. Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan kitab suci (Al-Qur’an). Dia melindungi orang-orang saleh. Berhala-berhala yang kamu seru selain Allah tidaklah sanggup menolongmu, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri. Jika kamu menyeru mereka (berhala-berhala) untuk memberi petunjuk, mereka tidak dapat mendengarnya. Kamu mengira mereka memperhatikanmu, padahal mereka tidak melihat.”


[QS. Al-A’raf ayat 191-198]

D. Iman Terhadap Nama-nama dan Sifat-sifat Allah

Iman terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah meyakini bahwa Allah memiliki nama-nama terbaik dan sifat-sifat yang mulia dan sempurna, serta suci dari segala aib dan kekurangan. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

وَلِلَّهِ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰ فَٱدۡعُوهُ بِهَاۖ وَذَرُواْ ٱلَّذِينَ يُلۡحِدُونَ فِيٓ أَسۡمَٰٓئِهِۦۚ سَيُجۡزَوۡنَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ١٨٠

Allah memiliki Asmaulhusna (nama-nama yang terbaik). Maka, bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut (Asmaulhusna) itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.


[QS. Al-A’raf ayat 180]

1. Penetapan Nama dan Sifat Allah

Nama-nama dan sifat-sifat Allah sangatlah banyak. Nama-nama dan sifat-sifat Allah telah ditetapkan oleh Allah sendiri dalam Al-Quran dan telah ditetapkan oleh Rasul-Nya dalam As-Sunnah. Nama-nama dan sifat-sifat Allah tidak bisa ditetapkan oleh akal atau logika secara independen. Maka dari itu, siapapun tidak boleh menetapkan nama-nama dan sifat-sifat bagi Allah di luar dari apa yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah karena itu termasuk ilhad (penyelewengan). Allah subhanahu wata’ala berfirman :

وَلِلَّهِ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰ فَٱدۡعُوهُ بِهَاۖ وَذَرُواْ ٱلَّذِينَ يُلۡحِدُونَ فِيٓ أَسۡمَٰٓئِهِۦۚ سَيُجۡزَوۡنَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ١٨٠

Allah memiliki Asmaulhusna (nama-nama yang terbaik). Maka, bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut (Asmaulhusna) itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.


[QS. Al-A’raf ayat 180]

Nama-nama Allah merupakan nama untuk zat-Nya sekaligus sifat-Nya. Nama-nama Allah bukanlah lafal kosong tanpa makna. Nama-nama Allah juga bukan lafal yang tidak diketahui maknanya. Nama-nama Allah adalah sekaligus sifat-sifat Allah yang mudah dipahami dan diketahui maknanya agar dapat direnungkan dan diamalkan.

Di antara contoh nama-nama dan sekaligus sifat-sifat Allah ialah :

  • Ar-Rahman (الرحمن) : Maha Pengasih
  • Ar-Rahim (الرحيم) : Maha Penyayang
  • Al-Malik (الملك) : Maha Merajai
  • Al-Quddus (القدوس) : Maha Suci

Adapun sifat-sifat Allah yang disebutkan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah contohnya ialah :

  • Al-Istiwa’ (الإستواء) : Istiwa’ (tinggi di atas)
  • An-Nuzul (النزول) : Turun
  • Al-Ghadab (الغضب) : Murka
  • Ar-Ridha (الرضا) : Ridha

2. Memuliakan Sifat-sifat Allah

Semua sifat-sifat Allah adalah sifat-sifat yang sempurna dan mulia, dan tidak sama dengan makhluk-Nya. Maka dari itu, wajib untuk memuliakan-Nya dan tidak boleh menyamakan sifat Allah dengan makhluk (tamtsil) atau pun menentukan kaifiyahnya (takyif). Allah subhanahu wata’ala berfirman :

لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٞۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ ١١

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.


[QS. Asy-Syura ayat 11]

Tamtsil (تمثيل) artinya adalah menyerupakan sifat Allah dengan makhluk-Nya. Contoh tamtsil yaitu menyamakan sifat melihat bagi Allah dengan sifat melihat bagi manusia. Padahal, melihatnya Allah berbeda dengan melihatnya manusia. Meskipun manusia juga memiliki sifat melihat, tetapi melihatnya manusia berbeda dengan melihatnya Allah subhanahu wata’ala.

Takyif (تكييف) artinya menentukan cara/bagaimana terhadap sifatnya Allah. Contohnya menentukan cara istiwa’ Allah di atas ‘arsy bahwa Allah beristiwa’ di atas ‘arsy dengan cara begini dan begini. Padahal, Allah tidak pernah menurunkan satu dalil pun tentang bagaimana cara Dia beristiwa’. Selain itu, perkara bagaimana Allah istiwa’ di atas ‘arsy adalah perkara ghaib yang tidak bisa diketahui oleh indra dan tidak bisa dijangkau oleh akal. Maka dari itu, kita tidak boleh menentukan cara/bagaimana Allah berisitwa’ di atas ‘arsy.

3. Mensucikan Allah dari Sifat Kekurangan

Sifat-sifat Allah juga suci dari segala kekurangan, aib, dan penyerupaan dengan makhluk. Allah tidak memiliki sifat-sifat kekurangan seperti mati, tidur, mengantuk, luput, faqir, bisu, tuli, buta dan lain sebagainya. Maka dari itu, wajib untuk menyucikan-Nya dari segala kekurangan dan aib tanpa menyelewengkannya (tahrif) ataupun mengabaikannya (ta’thil).

Tahrif (تحريف) artinya mengubah-ubah lafal ataupun makna pada sifat-sifat Allah subhanahu wata’ala. Contohnya :

  • Mengubah lafal “ٱسۡتَوَىٰ” pada ayat berikut ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ٥ [QS. Thah ayat 5] menjadi “اسْتَوْلَى” yang bermakna “menguasai”. Pengubahan lafal ini dimaksudkan untuk menolak sifat istiwa’ bagi Allah.
  • Mengubah makna pada sifat “الغضب” (murka) bagi Allah dengan keinginan untuk membalas. Pengubahan makna ini dimaksudkan untuk menolak sifat murka bagi Allah.

Padahal, kesamaan pada nama (al-ism) tidak berarti sama pada hakikat yang dinamai (al-musamma). Sebagai contoh, Allah menamai dirinya dengan nama Al-Hayyu (الحي) yang berarti “hidup”. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡحَيُّ ٱلۡقَيُّومُۚ

Allah, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahahidup lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).


[QS. Al-Baqarah ayat 255]

Allah juga menamai makhluk-Nya dengan nama Al-Hayyu (الحي) yang berarti “hidup”. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

يُخۡرِجُ ٱلۡحَيَّ مِنَ ٱلۡمَيِّتِ وَيُخۡرِجُ ٱلۡمَيِّتَ مِنَ ٱلۡحَيِّ

Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup


[QS. Ar-Rum ayat 19]

Berdasarkan ayat-ayat di atas, terdapat kesamaan nama antara Allah dengan makhluk-Nya, yaitu Al-Hayyu (الحي). Akan tetapi, Al-Hayyu bagi Allah tidak sama dengan Al-Hayyu bagi makhluk. Maka dari itu, meskipun sama dalam hal nama (al-ismu), tetapi berbeda dalam hal yang dinamai (al-musamma). Demikian pula istiwa’ Allah bukan berarti sama dengan istiwa’nya makhluk, murkanya Allah bukan berarti sama dengan murkanya makhluk.

Ta’thil (تعطيل) artinya mengingkari, mengabaikan, menyingkirkan, mengosongkan atau menafikan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah, baik secara keseluruhan ataupun sebagian. Contohnya :

  • Menganggap bahwa nama-nama Allah adalah lafal-lafal yang kosong tanpa makna.
  • Menganggap bahwa makna-makna yang terkandung pada nama-nama dan sifat-sifat Allah hanya Allah yang mengetahuinya.

Padahal, nama-nama Allah adalah sekaligus sifat-sifat Allah yang diketahui maknanya. Demikian pula sifat-sifat Allah yang bukan nama-Nya, seperti istiwa’, nuzul, dan lain sebagainya juga diketahui maknanya.

Jika penolakan terhadap makna yang terkandung pada nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah karena khawatir menyamakan Allah dengan makhluk-Nya maka ini adalah kekeliruan. Justru, kesamaan nama dan makna tidak berarti sama dalam hal hakikat.

4. Mengimani dan Mengamalkan Nama-nama Allah

Mengimani nama-nama Allah tidak cukup di dalam hati tetapi juga harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إِنَّ ‌لِلهِ ‌تِسْعَةً ‌وَتِسْعِينَ اسْمًا، مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ

Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, yaitu seratus kurang satu. Barang siapa yang menghitungnya, niscaya ia masuk surga.


[HR. Bukhari no. 2736]

Yang dimaksud dengan menghitung nama-nama Allah pada hadits di atas adalah bukan sekedar menghitungnya. Yang dimaksud menghitung adalah menghafalkan lafal dan maknanya, menjadikannya wasilah ketika berdoa, dan beribadah atau mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya.

Contoh cara beriman kepada nama Allah “السَّمِيْعُ” yang berarti Maha Mendengar. Cara mengimani dan mengamalkannya adalah :

  • Kita beriman bahwa Allah memiliki nama “السَّمِيْعُ” yang artinya adalah Maha Mendengar.
  • Kita beriman bahwa Allah memiliki sifat mendengar.
  • Kita beriman bahwa mendengarnya Allah tidak sama dengan mendengarnya makhluk.
  • Kita beriman bahwa Allah Maha Mendengar sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya.
  • Kita beriman bahwa tidak ada satupun suara yang luput dari pendengaran-Nya karena sifat mendengar-Nya yang sempurna.
  • Kita tidak membicarakan tentang kaifiyah (bagaimana) mendengarnya Allah karena itu adalah perkara ghaib sehingga kita tidak tahu bagimana Allah mendengar.
  • Kita mengamalkan nama Allah “السَّمِيْعُ” dalam kehidupan sehari hari dengan menjaga lisan, berkata yang baik, memperbanyak berdoa dan berdzikir kepada Allah, dan lain sebagainya karena Allah Maha Mendengar perkataan kita.
  • Berdoa dengan nama Allah “السَّمِيْعُ” dalam doa-doa yang kita panjatkan. Contoh : رَبَّنَا تَقَبَّلۡ مِنَّآۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ (“Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”)

5. Macam-macam Sifat-sifat Allah

Pertama adalah sifat zat, yakni sifat-sifat yang senantiasa melekat dengan zat Allah subhanahu wata’ala. Contohnya seperti hidup, mendengar, melihat, ilmu, kehendak, kekuatan, dan lain sebagainya.

Kedua adalah sifat perbuatan, sifat-sifat yang berkaitan dengan kehendak dan hikmah Allah subhanahu wata’ala. Jika Dia berkehendak maka Dia melakukannya sebagaimana yang dikehendaki-Nya dan sesuai dengan hikmah-Nya. Contohnya seperti, istiwa’, nuzul, cinta, murka, gembira, heran, datang, tertawa, dan lainnya yang disebutkan dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.

Ada pula sebagiannya adalah termasuk sifat zatiyyah fi’liyyah (zat sekaligus perbuatan), contohnya seperti sifat kalam atau berbicara. Jika dilihat secara jenis dan asalnya maka kalam adalah sifat zat. Namun, jika dilihat kepada masing-masing pembicaraannya secara parsial maka kalam adalah sifat fi’liyyah.

Ada pula sebagainnya adalah termasuk sifat khabariyyah (informatif) yang mana informasi tentang sifat tersebut diketahui dari wahyu tanpa campur tangan akal. Di antara contoh sifat-sifat tersebut ialah sifat wajah, kedua tangan, kaki, dan lain sebagainya yang disebutkan dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.

Related Posts :